Selasa, 05 November 2013

Kournila

 Kournila, sebuah nama


Seperti pagi lainnya, melewati perkampungan di kaki perbukitan Meratus adalah hal yang menyenangkan, sisa-sisa persawahan yang mulai berganti dengan perkebunan sawit masih terasa sejuk dilihat. Suasana pedesaan ini masih terasa cocok untuk menggambarkan kesederhanaan untuk juga mewakili kejujuran hidup apa adanya. Tidak ada kepura-puraan yang ada hanyalah kegiatan penduduk memenuhi kebutuhan paling dasar.
 Tidak perlu perlu bedak dan lipstik menawan di bibir sensual. Alam sudah dengan ramah menerima walau badan penuh peluh, semakin peluh membasahi tubuh semakin ikhlas mereka menerima dan tentu imbalannya suka cita panen tiba.
Semakin matahari meninggi senyuman di sela peluh itu semakin menawan, senyuman kejujuran. Semasa pagi itu juga maka warung-warung kopi laris, senyum mengembang menjadi tawa-tawa pelepas penat pemulai kerja hari ini.
Sederhana mereka memberi dan mendapatkan senyum menawan, tak perlu bedak dan lipstik mahal yang sering membuahkan senyum anggun yang palsu. Karena ulasan lipstik di bibir di desa punya makna tersendiri yang telah disepakati, ulasan lipstik adalah juga simbol kejujuran. Perempuan yang memulas bibirnya dengan lipstik adalah perempuan bersuami. Simbolisme yang telah disepakati.
Banyak jejaka kampung yang terpaksa bersenyum kecut saat bunga desa pujaannya tiba-tiba terlihat memberi senyum dengan lipstik merah di bibirnya. Membiarkan senyum dengan lipstik merah itu tetap bersemayam di hati adalah hal yang haram.
“Bukankah kamu sayang suamimu?” “ Ya...tentu tapi senyum ini untuk kamu,” ucapnya dengan senyum di  bibir berlipstik merah muda. Dengan cepat aku berlalu.
Ini kali yang tak terhingga dia memberiku senyum, kadang sengaja dia berdiri di simpang jalan pagi-pagi. Kadang di hati ini  menjadi hal yang menyenangkan, sekian jauh menempuh perjalanan menuju daerah terpencil disambut dengan senyum indah.
“Kapan balik lagi ke sini, aku menunggu,”tanyanya dengan nada rendah cemas. “ Perlu dua bulan untuk menyelesaikan akhir perkuliahan, semasa itu aku harus bertahan di kota”.
Hatiku hampir menyepakati simbolisme lipstik di bibirnya telah dikhianatinya sendiri dengan senyum itu. Ratusan kali juga aku mengiyakan ia telah ingkar atas kejujuran yang telah diusung kampung ini, ingkar pula pada keikhlasan suaminya mempersuntingnya. Tetapi Seiring itu juga hatiku jadi pongah. Merasa menjadi pemenang dalam pengingkaran tehadap kekokohan adat.
Alam kembali memberikan keramahannya pagi ini, setelah hujan menderu semalaman. embun begitu sejuk menyapa. reumputan mengeliat menampakkan kuncupnya. pegunungan meratus perlahan nampak setelah selendang empun perlahan pergi memenuhi janjinya.

...bersambung