Senin, 26 November 2012

Meniti Jalan (cerber bag 2)

Anak muda itu tergopoh-gopoh setengah berlari sambil mengangkat tas dan sepatunya mengejar truk pengangkut karet hasil bumi Loksado, "maaf pak Ipan, kirain bapak tidak jadi ikut" santun kenek truk sambil menaikkan barang bawaan bapak Ipan, " sudah lama nunggu saya? jalan dari desa Pariang luar biasa becek, biasanya tidak seperti ini" kisah pak Ipan. "kalau hujan tanggung derasnya begitu pak, mending hujan deras sekalian aja, jadi tidak terlalu becek". " Bapak duduk di depan aja...biar saya yang jaga barang di bak ini", " nggak usah..kamu aja di depan...di desa Muara Katib si Adun minta ikut sekalian, nanti saya kelewatan" tolak Bapak Ipan.

Bagi orang bisa menaiki truk dengan muatan hasil perkebunan karet mungkin sesuatu yang sangat luar biasa hebat, bau karet sangat penyengat hidung, baunya seperti kotoran, berbau busuk tiada terkira, bahkan pakaian yang dipakaipun baunya tidak luntur seharian. Karet ini sebelum dijual biasanya di rendah dahulu si sungai, selain salah satu teknik menyimpan karet, cara ini juga digunakan untuk menambah berat karet sewaktu di timbangan sewaktu menjual, bau busuk tadi dari sinilah berasal, dari rendaman karet berhari-hari.

Merendah karet di sungai bukannya tanpa resiko, pernah ribuan kilogram karet penduduk hanyut terbawa arus banjir bandang selepas hujan beberapa bulan yang lalu dan hilang entah kemana, belajar dari pengalaman itu penduduk kini lebih banyak yang membuat kolam penampungan, alhasil baunya pun tak tertahankan.

Ini tahun kedua bagi Bapak Ipan keluar masuk hutan sisi selatan pegunungan Meratus ini, kecintaan terhadap dunia pendidikan mampu merelakaan dirinya untuk menyambangi anak-anak sisi pegunungan Meratus. Penduduk di desa ini mempunyai karakter unik, selain dimanjakan dengan alam dengan perkebunan yang luas, penduduk secara eekonomi mereka berkecukupan, jadi jangan heran merk-merk hp terkenal di tenteng ada mud di desa ini. Arus Globalisasi ternyata juga mendesak desa ini untuk berkenalan dengan teknologi komunikasi, tetapi sayangnya lama kelamaan ini hanya menjadi bencana sosial. Kemajuan peralatan (gadget) komunikasi tidak seimbang dengan perubuhan pola pikir mereka, yang terjadi adalah menggunaan alat ini hanya untuk hiburan semata, kadang juga hanya untuk akses film pornografi.

Kecenderungan perubahan sosial menuju kekacauan kondisi sosial inilah yang ditangkap oleh Pak Ipan, kepedulian ini ditambah lagi melihat tindakan dari pemerintah kadang salah sasaran hanya mementingkan angka partisipasi kasar pendidikan yang pasti mengabaikan kualitas dari pendidikan itu sendiri.

Untuk dapat melakukan intervensi jalan saat ini jalan yang tersedia adalah dengan menjadi guru SMP terbuka, tanpa gaji yang cukup dan dukungan yang minim kadang bahkan direndahkan, Bp Ipan sendiri bernaung dari sebuah yayasan yang berasal dari salah satu partai politik, dukungan ini jualah yang menjadikan SMP terbuka masih bisa bertahan, ditengah keinginan oknom pihak Dinas pendidikan yang mengingkan diberhentikannya kegiatan ini, dengan alasan hanya membebani persentasi kelulusan siswa SMP secara keseluruhan di Kabupaten ini.



Meniti Jalan (cerber bag 3)

Bisa menyelesaian sekolah di SMP terbuka ini bagiku adalah harta yang tak ternilai, pertama karena hanya aku satu-satunya penduduk desa Bariang ini yang sekolah walau hanya setingkat SMP, teman-teman lainnya bertahan sampai bisa membaca dan berhitung dan kadang itupun ditebus  dengan waktu yang hampir dua kali lipat anak-anak kota, hanya generasi kami pula yang dapat bersentuhan dengan ilmu pengetahuan, sebelumnya hidup penduduk mengandalkan pengetahuan-pengetahuan warisan nenek moyang.

Bukan tanpa sebab ini terjadi, kondisi geogafis disisi utara pegunungan meratus ini sangat jauh dari pusat pemerintahan kecamatan dan kabupaten, letak desa kami yang terasing dengan desa-desa lainnya memerlukan biaya membangunan yang lebih untuk dapat mendirikan sarana publik disini. kebutuhan listrik sekedar menyalakan televisipun hanya beberapa tahun belakangan ini terpenuhi dan terbatas hanya pada malam hari, sebelum matahari terbit sempurna listrik duluan padam.

Yang kedua mengapa mendapat kesempatan sekolah ini menjadi harta yang tak ternilai, karena memang aku tak punya harta apa-apa lagi, kehidupan keluarga yang berpola pikir seperti rata-rata oraang sekampung menjadikan ekonomi tak beranjak dari tidak berkecukupan, melimpah ruah kekayaan alam di desa kami rupanya tak membuat kami penduduk kampung juga hidup cukup.

Tajam busur globalisasi ternyata juga menusuk peradapan desa, kehidupan desa yang dulu damai menurut pendapat kami ternyata terkoyak cepat, masuknya teknologi-teknologi baru membuat anak-anak muda menjiblak sempurna apa yang mereka lihat di televisi sekarang. 

Jika dulu kebanggaan adalah memiliki ternak yang banyak sekarang kebanggaan adalah memiliki motor terbaru, kadang untuk memiliki motor orang tua harus menjual tanah kebun mereka pada tengkulak kota dengan harga permeter hampir sama dengan tikar plastik buatan cita.

Ketidakmampuan untuk bisa seperti teman-temanlah yang membuat aku mampu bertahan di sekolah ini, bagiku ijazah yang akan kudapatkan nanti adalah kunci pertama untuk membuka pintu cita-cita.

Minggu, 25 November 2012

Kembali Ke Sekolah Dasar


Guru punya banyak model pendekatan dalam pembelajaran di kelas, pada tingkatan SD dasar tentu lebih banyak dengan pendekatan menyayangi dan memberikan contoh nyata, agar para siswa tau betul, memahami dan tak kalah penting para siswa yakin hal tersebut dapat dilakukan.

Pada jenjang SMP dan SMA akan berbeda lagi pendekatan yang dilakukan. pada jenjang ini resiko dan tanggung jawab atas tindakan mereka perlu mereka ketahui. Misalnya ketika siswa tidak hadir kesekolah, atau melanggar peraturan sekolah.

Mempercayai mereka mampu mempertanggung jawabkan dan tahu resiko yang akan mereka dapatkan ketika mereka melakukan sesuatu adalah tindakan berguna untuk membangun percaya diri dan memelihara kepekaan mereka tentang tanggung jawab diri.

Bagaimana dengan tingkatan mahasiswa, tentunya pendekatan dalam belajarnya tambah beda lagi,tidak lagi perlu disuruh mahasiswa tahu sendiri kebutuhannya. jika informasi dianggap kurang dari. dosen, perpustakaan dan informasi online jadi pelengkap.

Pasca sarjana, ini sudah tingkatan yang tidak hanya tahu bagaimana kebutuhannya tapi juga sudah tahu bagaimana ilmu yang ada dikembangkan. Lalu jika pendekatan pengajaran  tingkat sekolah dasar diberlakukan ke pasca sarjana apa yang terjadi?? tentunya jadi menggelikan, berikut beberapa hal yang menggelikan tsb 

Satu-persatu mahasiswa pasca dihitung dalam kelas, agar tahu siapa yang absensi, hehehe. bagaimana kalu alasannya kelas membosankan dan mencari informasi di luar kelas lebih bermanfaat. Rupanya lebih penting kehadiran dari pada informasi, padahal kehadiran hanya menyumbang 20%.  sebenarnya masalahnya tidaklah masalah kehadiran, tapi mahasiswa paska masih dicurigai seperti anak sd aja.

Bertanya pada dosen, dosen balik tanya, "kamu ngerti nggak yang kamu tanyakan". waduh...bu dosen. ini S2. emang anak SMP yang kalau tanya, pertanyaannya minta dibikin kan teman disamping.

Yang lebih parah lagi, kalau menjawab soal formatnya harus sesuai dengan format yang dibikin dosen, alinea pertama harus arti kata dulu secara etimologi seperti dari kamus, alinea kedua sumber dari media massa. ....alinea ketiga begini....begitu.....akhirnya satu kelas hasilnya sama